Thursday, April 14, 2011

Gn. Binaiya jalur Selatan, Sensasi lain pendakian mulai nol meter dpl

Teriakan burung Kakatua menyadarkan ku dari rasa kantuk yang termamat sangat, karena badan sudah terlalu lelah untuk menapaki kemiringan lereng Bukit Lukuamano yang dipenuhi dengan semak dan batu karang licin berlumut. Sepatu bersol Vibram terasa tidak berdaya menghadapi licinya karang yang di selimuti lumut. Aku coba lihat di sekelilingku, hanya pohon pohon besar dan semak belukar, ku coba juga lihat ke atas, burung kakatua kelihatan sangat kecil tertangkap oleh kacamata minusku. Sendirian di tengah hutang adalah sesuatau yang sangat menyenangkan bagiku, tapi kali ini agak terpaksa karena sudah terlalu lelah untuk mengejar Porter di depan ataupun untuk menunggu teman yang masih di belakang.

Masih teringat pagi-pagi buta kemaren (04 Apr 2011) sekitar pukul 5:20, dengan mata masih terasa berat harus menggendong keril kuning 75liter dan daypaack, diantar istri naik motor ke Bandara Ngurah Rai. Perjalanan agak terhambat karena di karena ada bule mabuk yang parkir di tengah jalan, sementara di kanan dan kiri jalan legian masih banyak terlihat perempuan malam yang masih menjajakan diri.

Akhirnya sekitar pukul 05.50 sampai di Bandara Ngurah Rai, suasana masih sepi dan hanya terlihat beberapa penumpang yang lagi check-in. Ada permasalahan sedikit karena bagasi akan sampai ke AMQ, padahal tiket transit UPG-AMQ tidak akan kupakai karena sampai di AMQ sekitar jam 15:00 padahal jam segitu sudah harus ada di Dermaga Pelabuhan Tulehu, Ambon. Menurut petugas Lion Air, cuman perlu lapor sama petugas transit di Bandara UPG , maka bagasi akan segera bisa di ambil di UPG. Kelihatannya prosesnya gampang ya , lihat saja kenyataannya.

Pukul 08:35 sampai di UPG, Aku langsung lapor ke bagian transit dan kekhawatiran saya sebelumnya ternyata menjadi kenyataan, bagasi benar-benar bermasalah karena proses pengambilan telalu lama. Banyak alasan yang dilontarkan oleh sang petugas, gudang jauh , yang dihubungi gak ada di tempat dan beberapa alasan lain yang membuatku males untuk mengingatnya. Dengan sedikit terpaksa pakai cara brutal yaitu dengan menyogok petugas agar proses bisa di percepat dan meminta mereka mengantarkan ke counter check-in Sriwijaya Air. Dengan sedikit ter-engah2 ku berlari kecil ke counter Sriwijaya Air untuk checkin. Akhirnya dengan badan sedikit berkeringat bisa juga masuk ke dalam pesawat. Di dalam pesawat kulihat Bang Hendri tersenyum sambil melambaikan tangan, Sunyi, Riza dan Bang Zul juga ada disebelahnya. Kami berlima akan berpetualang untuk memetakan jalur selatan Gunung Binaiya mulai dari nol meter diatas permukaan laut.

Setelah menepuh perjalan hampir satu jam, akhirnya sekitar pukul 12:45 Sampai di AMQ. Dengan memakai dua troli semua bagasi di kumpulkan perjalanan di lanjutkan. Bang Hendri sibuk tawar menawar dengan supir taksi, akhirnya deal di harga 150.000 sampai ke dermaga Tulehu, anehnya lagi yang akan kami naiki bukanya taksi melainkan mobil Toyota rush. Cukup gak ya untuk kami berlima dan juga bagasi yang bejibum. Setelah semua barang di naikkan ke bagasi, posisi penumpang di atur, Bang Zul yang badannya paling gede ada di depan dan kami berempat , Saya, Hendri, Riza dan Sunyi berdesak-desakan di belakang. Dalam perjalanan menuju ke Dermaga Tulehu, sopir taksi, Pak Eman, banyak bercerita tentang kota Ambon dan juga kerusuhan Ambon yang agak sedikit menyeramkan. Aku juga masih bisa menyaksikan pemandangan sisa2 kerusuhan di Ambon dan berharap peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi.

Perlu waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke Dermaga Tulehu, dan sekitar pukul 01:55 kami sampai di Dermaga Tulehu. Suasana dermaga masih sepi karena Kapal Cepat berangkat kira2 puku 16:00 WIT, jadi masih ada waktu untuk santai dikit. Setelah semua barang di turunkan dan angkut ke dalam ruang tunggu dermaga, Kami bergantian untuk cari makan siang. saya dan bang Zul dapat giliran pertama untuk jaga barang. Sambil nunggu kami sempat ngobrol dengan penduduk setempat yang ternyata adalah mahasiswa salahsatu perguruan tinggi di Kota ambon yang nyari kerja sampingan sebagai tukang ojek di sekitar dermaga. Akirnya giliran makan siang datang juga, supaya jalan ga terlalu jauh aku dan Bang Zul nyari warung yang dekat dermaga saja dapat menu khusus Ikan asar dengan saus Colo Colo, pertamakali makan ikan dengan saus colo colo, rasanya asam seperti makan rujak ikan, nggak nyambung dengan lidah ku. Daripada perut kosong yang mending di habisin aja. 

Sekitar 15.26 kami Naik kapal cepat Cantika Torpedo (ongkos Rp. 91.000), kapalnya tidak begitu besar dan hanya khusus mengangkut penumpang saja. Suasana di dalam kapal agak gaduh karena banyak sekali pedagang asongan yang ada di dalam kapal, yang mereka tawarkan rata2 sama, yang khusus cuma Roti Kaya, Manisan Pala, selebihnya mirip dengan yang dijajakan pedagang asongan di terminal. Tempat duduk lumayan nyaman dan lebih mirip tempat dukuk pesawat. Kami meilih duduk di bagian depan, sementara barang2 kami tumpuk di tepat di depan kami agar lebih mudah di awasi. Perjalanan dengan kapal cepat kami pergunakan juga untuk istirahat, Sunyi tidur tergeletak di lantai sementara aku dan yang lain memilih tidur di kursi.





Ombak di lautan sedang bersahabat, jadi cuma eprlu waktu kurang dari 2 jam untuk sampai di dermaga Pelabugan Amahai pulau Seram. Kira-kira pukul 17:30 kami sampai di dermaga Amahai. Kami dijemput teman kami, Jumri dan Teguh, yang juga adalah Petugas Taman Nasional Manusela. Dengan menggunakan 2 mobil kami melanjutkan perjalanan ke Masohi, tempat kami bermalam di hari pertama. 

Kira2 tepat pukul 18:00 kami sampai di Mess Petugas Taman Nasional Manusela, Masohi, malam ini akan kami pergunakan untuk membagi jatah perbekalan yang harus dibawa agar semua anggota team masing2 mendapat berat yang sama dan juga menata kembali paking di keril kami agar nantinya nyaman di bawa pada saat mulai pendakian. Kami juga di antar oleh Teguh ke pasar masohi untuk mencari bahan2 makanan yang belum lengkap.


Ada yang unik terlihat disini, walaupun sudah ada listrik , tapi setiap pedagang selalu menggunakan lampu minyak tanan atau lebih tepat di sebut obor yang terbuat dari Botol bersumbu. Kami membeli 2 ekor Ikan asar, sebutan untuk ikan asap, yang katanya bisa tahan sampai 5 hari, dan juga bahan bumbu dapur pelengkap lainnya.




Selanjutnya acara makan malam, menu nya Ikan lagi, colo-colo lagi, untung ada pilihan lain yaitu saus kacang, terpaksa kupilih saus kacang sebagai pelengkap ikan bakar. Sekedar tambahan informasi, harga barang disini lamayan agak mahal karena kebanyakan harus di kirim dari luar pulau. Sebagai contoh, satu porsi ayam goreng harganya kisaran 25 ribuan. Balik ke Mess TN Manusela, kami sudah di tunggu Jumri. Beliau menyerahkan surat ijin mendaki kepada kami, total biaya untuk kami berlima sebesar Rp. 75.000

Ke esokan harinya (05 Apr 2011) sekitar pukul 08:50 kami siap siap berangkat ke Tehoru dengan menumpang mobil patroli polisi kehutanan untuk angkut barang dan satu mobil penumpang ke Tehoru dengan ongkos Rp. 60rb per orang. Perjalanan yang panjang dan melelahkan karena harus ditempuh selama 3 jam dan melewati kombinasi jalan Hotmix, jalan rusak, jembatan kayu dan juga polisi tidur yang terbuat dari balok kayu yang di letakkan di tengah jalan. Mungkin maksudnya agar para sopir tidak terlalu ngebut ketika melewati kawasan ramai. Kondisi ini juga membuat aku kesulitan untuk istirahat selam perjalanan, akan tetapi pemandangan di sebelah kanan Laut dan sebelah kiri jajaran perbukitan yang banyak di tanami pohon pala, cengkeh dan coklat membuat ku sedikit terhibur.

Setelah 3 jam perjalanan yang melelahkan, pukul 11:54 kami sampai di Tehoru. Kami mampir sebentar di kantor Taman Nasional dan ketemu Pak Ige (Porter) serta menerima nasehat koramil dan beberapa pejabat kantor tersebut. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Tehoru. Disini kami sempatkan untuk istirahat makan siang karena di perjalanan berikutnya tidak akan ada warung makanan sama sekali



Kira-kira pukul 12:50 kami berangkat dari pelabuhan Tehoru dengan menaik1 2 kapal ketinting untuk mengangkut 7 orang beserta barang-barang ke Yaputih dengan ongkos total Rp. 200rb. Dari tengah laut kelihatan Gereja di Desa Sahunulu dan Masjid di desa Yaputih makin lama makin Jelas, sedangkan Tower sebuah operator telepon selular Tehoru di belakang kami makin mengecil. Perlu waktu satu jam untuk menyebrangi teluk yang memisahkan Tehoru dan Yaputih. Sebelum ke Yaputih kami mampir sebentar di desa Sahunulu, karena Pak Ige harus mengambil perlengkapannya dulu di rumahnya. .

Akhirnya sekitar pukul 14:01 sampailah kami di desa Yaputih, Awal dari pendakian yang dimulai dari nol meter diatas permukaan laut. Ada yang menarik perhatianku ketika pertama kali menjejakkan kaki di pantau Yaputih, pasirnya putih bersih dan yang istimewa batu kerikil nya berwarna warni namun di dominasi warna putih mengkilat mirip batu akik yang sudah diasah. Selain itu susasana desa nelayan mulai terasa, kambing bersliweran, anak anak kecil telanjang sambil berlarian memainkan ban motor.

Keril pun mulai di naikkan ke pundak, sangat terasa berat sekali ketika melewati pasir pantai. Satu per satu penduduk desa bermunculan akhirnya menjadi ramai, akhirnya kami di tonton orang sekampung. 

Permasalahan sedikit muncul disini, hanya ada 1 porter yaitu pak Ige, sementara porter yang lagi satu nunggu di Desa Piliana yaitu desa terakhir yang akan dilewati. Padahal kami sudah menyiapkan dua keril untuk kedua porter tersebut. Terpaksa kami mancari porter di desa Yaputih untuk membawa keril sampai desa Piliana, ongkos tambahan untuk ini Rp. 50rb.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati kebun Sagu, Pala, Cengkeh, coklat, jalan berlumpur dan menyusuri sungai kering. Lebih baik pergunakan sarung tangan kulit selama pendakian, karena akan sangat membantu melindungi tangan kita dari duri pohon sagu, rotan ataupun semak belukar. Telapak tangan ku sempat bocor karena tidak sengaja memegang pelepah sagu saat kaki terpeleset di jalan berlumpur. 





Dua jam berselang, kira-kira pukul 16:00 kami sampai di sungai Yahe. Sungai yang lumayan lebar, ber batu dan airnya sangat jernih. Namun aku tidak melihat satu jembatan pun untuk menyebrangi sungai ini. Pada musim hujan besar (November - January) sungai ini akan banjir . Jadi otomatis desa di sebrangnya akan terisolasi . Sejam kemudian kami menyebrangi dua sungai kecil yaitu sungai Titimula dan sungai Tehiye, airnya kecil jadi relatif gampang menyebranginya. Sepanjang perjalanan ke desa Piliana, banyak pohon pohon durian, jambu bol dan manggis yang kami lihat, namun sayang nya masih belum musim berbuah.



Setelah melewati banyak tanjakan yang membuat kami harus sering kali berhenti untuk istirahat, akhirnya sekitar pukul 18:00 sampai juga di desa Piliana. Piliana, sebuah desa kecil yang sama sekali tidak mempunyai akses jalan raya, hanya bisa dilewati dengan jalan kaki, bahkan keliatannya sepeda motorpun tidak bisa mencapai desa ini karena begitu banyaknya batu karang dan sungai yang harus dilewati. Memasuki pintu masuk desa, suasana sudah mulai remang2 karena mendung dan waktu menjelang sore. Beberapa rumah yang kami lewati hanya berdinding kayu atau pelepah daun sagu dan beratap kan rumbia daun sagu. Para penduduk menatap kami sambil tersenyum kecil dan beberapa anak mengikuti kami dari belakang dengan malu malu. Mereka menunjuk ke sebuah rumah yang ada antena parabola-nya ketika saya menanyakan rumah pak kepala desa atau orang disana menyebut sebagai Raja. Ada yang menarik di desa Piliana, walaupun sangat terpencil (bahkan warung pun gak ada), tapi hampir setiap rumah di lengkapi dengan Solar Cell, dan di rumah kepala desa ata telepon umum satlelit (walaupun belum berfungsi karena belum selesai di pasang).

Satu teko besar kopi disediakan oleh Istri Pak Kades, benar2 terasa menyegarkan setalah empat jam melelahkan yang kami lalui tadi.

Malamnya kami juga menerima wejangan dari Tetua Adat Desa Piliana, berikut ini beberapa wejangan yang sempat saya catat :
- Gn. Manukupa dahulu merupakan sumber penghidupan bagi leluhur orang Piliana
- Tidak ada air di Gn. Manukupa dan Gn. Waipupu
- Turun dari Waipupu sebaiknya hati hati karena medan berupa karang terjal dan batu lepas lebih baik jalan sambil duduk
- Air terakhir ada di Ayimoto
- Tidak boleh teriak/ribut karena akan membangunkan Kamu-kamu (kabut)

Kesokan harinya (06 Apr 2011) berusaha bangun lebih pagi sekitar06:30, langsung bantuin Sunyi masak di dapur. Makanan hari ini Ayam goreng, lumayan untuk persiapan naik sebentar lagi. Rencananya kami akan berangkat jam lebih pagi, tapi kenyataannya sudah jam 08:00 belum juga berangkat karena Porter (Pak Yus) tidak bisa datang. 

Terpaksa pak Ige keliling untuk di pengganti, dan dapatlah pak Pak. Bandus, usianya mungkin sekitar 55 tahun lebih dan suka sekali memakan sirih dan memakai ikat kepala merah khas Maluku. Tapi dari perawakannya keliatannya sangat kuat sekali.








Sekitar pukul 08:40 , akhir nya kami berangkat juga, berjalan sedikit menyusuri jalan desa dan ladang penduduk yang kebanyakan berlumpur dan sekitar 25 menit kemudian, tepatnya jam 09:15 kami sampai di sungai Titimula (satu aliran dengan sungai titimula sebelumnya), Sungai kecil ini harus kami telusuri sebentar, dan lumayan menyusahkan karena batunya sudah berlumut dan membuat sepatu kami basah kuyup. Di ujung sungai, kami sempat kebingungang karena jalan yang biasanya di pakai sudah menghilang karena tertutup semak belukar. Pak Ige dan Pak Bandus jalan didepan sambil mengayunkan parang untuk menerabas semak belukar. Tak lama berselang, kami mendengar orang berteriak2, ternyata pak Yus berlari menyusul dari belakang. Wah akhirnya pakai 3 porter nih. 

Perjalanan pun di lanjutkan, setelah menerabas semak belukar kami akhirnya sampai di ujung yang lain dari sungai Titimula, perjalanan pun dilanjutkan dengan kembali menyusuri sungai kecil ini

Sekitar pukul 10:50 kami sampai di Lukaihata, jalan Kayu Raksasa, beberapa dari kami harus jalan sambil jongkok karena batang kayunya sudah berlumut dan sangat licin, jalan yang dilewatipun sudah mulai menanjak dengan sisi kanan dan kiri terkadang nyelip pohon jelatang, kalo kena tangan rasanya perih gatal dan panas. 



Akhirnya nemu juga jalan turunan, dari kejauhan terdengar suara gemericik air, dan kira-kira pukul 11:40 sampailah di sungai Yahe. Sungai nya sangat bersih dan penuh dengan batu batu besar. Kami beristirahat sambil makan siang di sini, trangia dan alat masak ti perlu di keluarkan , karena tadi pagi masing2 sudah membungkus nasi untuk bekal makan siang. Sembari istirahat, kami sempatkan juga untuk menjemur sepatu dan kaus kaki kami yang basah di atas batu.








BERSAMBUNG